Saat saat yang membuat aku begitu frustasi sudah terlewati, hikmah kehidupan yang sangat luar biasa bisa kudapat dari perjalananku. Tekanan bathin dan rasa tanggung jawab campur aduk dengan sekian masalah yang terjadi sebelumnya semua tertumpu padaku.
Dengan kekuatan hati, Doa, Kerja keras, dan Rasa Jengah modalku untuk bisa sedikit tersenyum dengan hasil yang mulai terlihat. Perjalanan masih panjang dan lengan baju terus disingsingkan, untuk mencapai asaku bukan karenanya, dengan usahaku dan doa kalian, orang yang kukasihi… Kekuatan cinta kalian memberikan aku Semangat …untuk terus maju
Jumat, 29 Juni 2012
Kamis, 28 Juni 2012
Teori Perubahan Sosial Karl Marx dan Max Weber
Teori perubahan social dan
budaya Karl Marx yang merumuskan bahwa perubahan social dan budaya sebagai
produk dari sebuah produksi (materialism), sedangkan Max weber lebih pada
system gagasan, system pengetahuan, system kepercayaan yang justru menjadi
sebab perubahan.
Jika dua pandangan itu
digunakan sebagai asas dalam pengembangan program Pendidikan Nonformal, akan
memberikan dampak untung dan rugi, secara literature hal tersebut disebabkan
oleh:
Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan
makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari
mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam
hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada
struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang
menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi
menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem
sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar
kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan
pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar
kelompok dalam masyarakat.
Mengacu pada
pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku
yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya
perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi
individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide
dan negosiasi.
Pembahasan
mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu
status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan
peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang
menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan
statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status
menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih
(achieved status).
Status yang
diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang
kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan
status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas
tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir,
melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.
Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu
struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait.
Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada
ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi
dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu
kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan
pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).
Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati
kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan.
Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya
didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih
keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai
kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih
ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga
dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).
Teori
inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya inkonsistensi dalam
individu sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya. Konsep ini
memberikan gambaran bagaimana tentang proses kemunculan kelas-kelas baru dalam
masyarakat sehingga menimbulkan perubahan stratifikasi sosial yang tentu saja
mempengaruhi struktur sosial yang telah ada.
Apabila
dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan semakin ketatnya
kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam perebutan kekuasaan atau
upaya melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena kompetisi dan konflik
yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme interaksional yang
memunculkan perubahan sosial dalam masyarakat.
Max Weber (1864-1920), pemikir sosial Jerman, mungkin adalah orang yang
di zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Marx yang
memandang segala sesuatu dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan Marx, Weber
dalam karya-karyanya menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi, politik, dan
sejarah teori sosial. Weber menggabungkan berbagai spektrum daerah
penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa sebab-akibat dalam sejarah tak
selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka. Weber berhasil
menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa,
sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur oleh
karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang di barat lebih dari pada
sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas penguasaan modal sekelompok
orang yang lebih kaya. Kegelisahan teoretis yang sama, bahwa marxisme klasik
terlalu naif dengan mendasarkan segala motif tindakan atas kelas-kelas ekonomi
memiliki dampak besar yang melahirkan teori kritis dan marxisme baru. Aliran
ini dikenal sebagai Mazhab Frankfurt, sebuah kumpulan teori sosial yang
dikembangkan di Institute for Social Research, yang didirikan di Frankfurt,
Jerman pada tahun 1923. Mazhab ini terinspirasi dari pandangan-pandangan Marx,
namun tidak lagi menjelaskan dominasi atas dasar perbedaan kelas ekonomi
semata, melainkan atas otoritas penguasa yang menghalangi kebebasan manusia.
Jika fokus marxisme klasik adalah struktur ekonomi politik, maka marxisme baru
bersandar pada budaya dan ideologi. Kritisismenya terasa pada kritik-kritik
yang dilontarkan atas ideologi-ideologi yang bersandar pada pendekatan psikolog
klasik Austria, psikoanalisisme Sigmund Freud (1856-1939); tentang kesadaran,
cara berfikir, penjajahan budaya, dan keinginan untuk membebaskan masyarakat
dari kebohongan publik atas produk-produk budaya.
Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895–1973) dan Theodor Adorno
(1903-1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis mazhab ini.
Analisisnya berkenaan dengan pembedaan antara peradaban barat dan timur, dan
bagaimana peradaban barat telah menyimpang dengan konsep rasionalitas yang
bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam semesta. Studi-studi yang mereka
lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti oleh sosiolog Jerman-Amerika,
Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam perkembangannya, sosiolog Frankfurt termuda,
Juergen Habermas, mengubah agenda Mazhab Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris
atas rasionalisme pencerahan.
Sebelumnya, Georg Simmel (1858–1918), sosiolog fungsionalis Jerman juga
telah mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik
merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang mendasar; berkaitan dengan
sikap bekerja sama dalam masyarakat. Dalam hal ini Simmel mungkin salah seorang
sosiolog pertama yang berusaha keras untuk mengkonstruksi sistem formal dalam
sosiologi yang diabstraksikan dari sejarah dan detil pengalaman manusia.
Analisisnya tentang efek ekonomi uang dalam perilaku manusia merupakan salah
satu pekerjaannya yang penting.
Jika Simmel membedah teori sosial berdasarkan konfliknya, maka sosiolog
konflik Amerika Serikat, Lewis Coser (1913-2003), bertitik berat pada
konsekuensi-konsekuensi terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara
keseluruhan. Teorinya menunjukkan kekeliruan jika memandang konflik sebagai hal
yang melulu merusak sistem sosial, karena konflik juga dapat memberikan
keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut terjadi. Konflik
justru dapat membuka peluang integrasi antar kelompok.
Di Amerika Serikat, teori konflik muncul menjadi sebuah cabang teoretis
oleh karena ketidaksukaan pada sosiologi fungsionalisme yang berkembang saat
itu. C. Wright Mills, sosiolog Amerika 1960-an mengecam fungsionalisme melalui
kritiknya tentang elit kekuasaan di Amerika saat itu. Perdebatan Mills dan
fungsionalisme ini pada dasarnya menunjukkan bagaimana sosiologi telah berkarib
dengan ideologi. Tuduhan yang paling besar adalah uraiannya tentang karya
Parsons yang bermuatan ideologis dan menurutnya sebagian besar isinya
kosong/hampa. Secara metodologi, Mills lebih mirip dengan mazhab Frankfurt atas
kritiknya pada media massa, pemerintahan, dan militer. Salah satu contoh
proposisinya yang kontroversial adalah bahwa menurutnya di Amerika terjadi
paradoks demokrasi: bentuk pemerintahannya adalah demokrasi namun seluruh
struktur organisasinya cenderung diubah ke bentuk oligarkhi, hanya sedikit yang
memiliki kekuasaan politik.
Dalam sosiologi, teori konflik berdasar pada asumsi dasar bahwa
masyarakat atau organisasi berfungsi sedemikian di mana individu dan
kelompoknya berjuang untuk memaksimumkan keuntungan yang diperolehnya; secara
tak langsung dan tak mungkin dihindari adalah perubahan sosial yang besar
seperti revolusi dan perubahan tatanan politik. Teori konflik ini secara umum
berusaha memberikan kritiknya pada fungsionalisme yang
meyakini bahwa masyarakat dan organisasi memainkan peran masing-masing
sedemikian seperti halnya organ-organ dalam tubuh makhluk hidup.
Ringkasnya,
ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori konfilk sosial,
antara lain:
1. kompetisi
(atas kelangkaan sumber daya seperti makanan, kesenangan, partner seksual, dan
sebagainya. Yang menjadi dasar interaksi manusia bukanlah KONSENSUS seperi yang
ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada KOMPETISI.
2.
Ketaksamaan struktural. Ketaksamaan dalam hal kuasa, perolehan yang ada dalam
struktur sosial.
3. Individu
dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan berjuang untuk mencapai
revolusi.
4. Perubahan
sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interes) yang
saling berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi
secara cepat dan revolusioner daripada evolusioner.
Dalam perkembangannya, teori konflik Mills, Dahrendorf, dan Coser
berusaha disusun sintesisnya oleh sosiolog Amerika lain, Randall Collins, yang
berusaha menunjukkan dinamika konflik interaksional. Menurut Collins, struktur
sosial tidak mempunyai EKSISTENSI OBYEKTIF yang terpisah dari pola-pola
interaksi yang selalu berulang-ulang dalam sistem sosial; struktur sosial
memiliki EKSISTENSI SUBYEKTIF dalam pikiran individu yang menyusun masyarakat.
Dalam hal ini, Collins mulai membagi apa yang MIKRO dan apa yang MAKRO.
Mikrososial berarti hubungan interaksi antar individu dalam masyarakat,
sementara makrososial berarti hasil dari interaksi antar individu dalam
masyarakat tersebut.
Jika seluruh teori dan pandangan Karl Marx dan Max Weber tersebut
diterapkan dalam Asas pendidikan Nonformal maka akan memerikan keuntungan yang
signifikan dimana setiap satuan pendidikan luar sekolah akan dimudahkan
pandangannya secara social budaya, tanpa harus di pusingkan dengan alasan dan
peredaan, tetapi ruginya akan terasa manakala program atau satuan pendidikan nonformal
ini tidak dapat menjangkau dan meraih semua sasaran yang diharapkan karena
perbedaan system yang berlaku.
Langganan:
Postingan (Atom)